Lembaga Tinggi Negara

A. Undang – Undang Dasar 1945 (periode 18 agustus 1945 – 27 desember 1949)
secara yuridis formal :

Pada periode ini Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan BPK belum terbentuk. Meskipun secara yuridis formal ketiga lembaga ini telah diakui eksistensinya, terbukti dengan diaturnya ketiga lembaga ini dalam Undang – Undang Dasar 1945.
Pada saat itu berdasarkan pasal IV aturan peralihan yang berbunyi ” sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, dibentuk menurut Undang – undang dasar segala kekuasaannya dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah komite nasional “. Untuk memperkuat Komite Nasional, kemudian dikeluarkan maklumat Wakil Presiden No. X (eks) tahun 1945. Dalam maklumat tersebut ditentukan bahwa sebelum MPR dan DPR dibentuk, kepada Komite Nasional diberikan kekuasaan legislatif dan ikut serta menetapkan garis – garis besar haluan Negara. Dengan kata lain Komite Nasional diberi kedudukan sebagai badan legislatif. Dengan demikian khusus mengenai penetapan undang – undang hanya dijalankan oleh Presiden, yang dalam menjalankan kekuasaannya dibantu oleh Komite Nasional. Apabila hal ini kita hubungkan dengan pasal 5 ayat (1) UUD 1945, maka hal itu mengandung arti bahwa kekuasaan untuk menetapkan Undang – undang dijalankan oleh Presiden dengan persetujuan Komite Nasional.

Bahkan kemudian dikeluarkan sebuah maklumat Pemerintah tanpa nomor tertanggal 14 november 1945 yang berisi :
 1.susunan Kabinet Sjahrir I ; dan
2.Ketentuan, bahwa Kabinet bertanggung jawab kepada Komite nasional

Jadi, lembaga – lembaga Negara yang ada pada periode ini adalah :
 1)Presiden dan Wakil Presiden yang menjalankan kekuasaan pemerintahan Negara ( bab III)
2)Dewan Pertimbangan Agung, yang memberi jawab atas pernyataan Presiden dan berhak memajukan usul kepada Pemerintah ( bab IV)
3)Mahkamah Agung, menjalankan kekuasaan kehakiman ( bab IX )
4)Komite Nasional Indonesia Pusat ( pasal IV aturan peralihan jo Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 oktober 1945
5)Menteri – menteri (Maklumat Pemerintah tanpa nomor tanggal 14 november 1945 )

B. Konstitusi Republik Indonesia Serikat ( periode 27 desember 1949 – 17 agustus 1950 )

Dalam periode ini, Indonesia menerapkan sistem pemerintahan parlementer pola Inggris, sebagai akibat perundingan dan persetujuan konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda, antara delegasi Indonesia, delegasi panitia permusyawaratan urusan federal ( Bijeenkomst voor Federal Overleg ), dan delegasi dari Kerajaan Belanda. Sehingga pada periode ini yang berlaku adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Yang dimaksud dengan Pemerintah pada periode ini adalah Presiden dan Menteri – menteri { pasal 68 ayat (1) Konstitusi RIS }, dimana Presiden sebagai kepala Negara { pasal 69 ayat (1) Konstitusi RIS } dan mengangkat Perdana menteri dan menteri – menteri. Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat merupakan lembaga perwakilan yang masing – masing mewakili seluruh rakyat Indonesia dan terdiri dari 150 anggota { pasal 98 Konstitusi RIS } dan yang mewakili daerah – daerah bagian { pasal 80 ayat (1) Konstitusi RIS}.
Berdasarkan pasal 127 Konstitusi RIS, Lembaga Negara yang berwenang menetapkan undang – undang federal adalah ; a) Pemerintah, bersama – sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat, sepanjang mengenai peraturan – peraturan yang khusus mengenai satu daerah bagian, beberapa daerah bagian, atau semua daerah bagian atau bagian – bagiannya, ataupun yang khusus mengenai perhubungan antara Republik Indonesia Serikat dan daerah – daerah yang diatur dalam pasal 2 Konstitusi RIS ( meliputi seluruh daerah Indonesia ), b) Pemerintah bersama – sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan yang bukan merupakan pengaturan hal – hal yang disebut dalam point (a) atau selebihnya dari yang telah disebutkan.
Yang menarik pada periode ini adalah adanya badan Konstituante yang diatur dalam bab V Konstitusi RIS yang bersama – sama dengan pemerintah yang bertugas (selekas – lekasnya) menetapkan Konstitusi Rapublik Indonesia Serikat yang akan menggantikan Konstitusi Sementara { pasal 186 Konstitusi RIS }. Berdasarkan pasal 188 ayat (2) bahwa rapat gabungan Dewan Perwakilan Rakyat dan senat dengan jumlah anggota dua kali lipat, itulah Konstituante. Konstituante dibentuk dengan jalan memperbesar Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih menurut pasal 111 dan Senat baru yang ditunjuk menurut pasal 97, dengan anggota – anggota luar biasa sejumlah anggota kedua majelis { pasal 188 ayat (1) } dan yang menjadi Ketua Konstituante adalah adalah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan yang menjadi wakilnya adalah Ketua Senat { pasal 188 ayat (3)}.

C. UUD Sementara 1950 ( periode 17 agustus 1950 – 5 juli 1959 )

Bentuk Negara Serikat tidak bertahan lama, hanya berlangsung kurang lebih 8 bulan. Melalui pasal 90 konstitusi ( R.I.S. ) kemudian dilakukan perubahan – perubahan terhadap konstitusi (R.I.S.) dengan mengubah bagian – bagian yang merupakan unsur – unsur Negara serikat menjadi Negara Kesatuan. Hal itu dilakukan melalui Undang – Undang Federal No. 7 / 1950 ( Lembaran Negara No. 56/ 1950 ). Dengan kata lain, Undang – Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam bentuknya adalah Perubahan Konstitusi Sementara R.I.S.
Perbedaan yang paling mendasar dari Konstitusi sebelumnya adalah dihapuskannya Senat, yang menjadi Badan Perwakilan adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Selama Dewan Perwakilan Rakyat belum tersusun maka Dewan Perwakilan Rakyat Sementara terdiri atas gabungan Dewan Perwakilan Rakyat R.I.S., Senat, Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, dan Dewan Pertimbangan Agung. Meskipun susunan keanggotaan ini dipandang kurang tepat, karena pada saat Negara Kesatuan terbentuk keempat badan itu tidak ada lagi, dan juga dengan susunan demikian seakan – akan menentukan bahwa peraturan – peraturan tentang ( keanggotaan) lembaga – lembaga tersebut masih berlaku bagi masing – masing ( penjelasan UU No. 7/ 1950 ).

Dewan Perwakilan Rakyat Sementara bersama – sama dengan Komite Nasional Indonesia Pusat, dinamakan Majelis Perubahan Undang – Undang Dasar yang mempunyai hak mengadakan perubahan – perubahan dalam Undang – Undang Dasar baru. Namun, meskipun Majelis Perubahan Undang – Undang Dasar merupakan suatu Badan, akan tetapi Badan ini hanya bertindak apabila perlu diadakan perubahan dalam Undang – Undang Dasar Sementara dan dalam sistem Undang – Undang Dasar Sementara, perlu tidaknya perubahan ditentukan oleh Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Sementara, maka Majelis Perubahan Undang – Undang Dasar tidak mendapat tempat tersendiri dalam UUD Sementara melainkan ketentuan – ketentuan tentang Majelis ini dimasukkan dalam bagian tentang perubahan Undang – Undang Dasar Sementara ( penjelasan UU No.7/1950).

Berbeda dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat, UUD Sementara tidak secara tegas menyatakan apa atau siapa yang dimaksud dengan Pemerintah. Namun, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan – ketentuan yang diatur dalam pasal 45 sampai dengan pasal 55 yang terdapat dalam bab II Bagian I UUD Sementara. Dari ketentuan – ketentuan tersebut terdapat pengaturan tentang Presiden, Wakil Presiden, dan Menteri atau Menteri – menteri, maka Pemerintah adalah Presiden, Wakil Presiden, Menteri atau Menteri – Menteri. Sebagaimana diatur dalam pasal 83 UUD Sementara bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat (ayat 1), dan menteri – menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan Pemerintah, baik bersama – sama untuk seluruhnya, maupun masing – masing untuk bagiannya sendiri – sendiri ( ayat 2), sejak saat itu Dewan Menteri bersifat Kabinet Parlementair yang berarti DPR harus dapat memaksa Kabinet atau masing – masing Menteri meletakkan jabatannya, walaupun DPR masih tersusun sementara ( penjelasan UU No. 7 / 1950). Dan sebagai perimbangan kekuasaan saat itu, Presiden dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat jika dianggapnya tidak mewakili kehendak rakyat lagi, dan sesegera mungkin ( 30 hari ) mengadakan pemilihan DPR yang baru ( pasal 84 UUD Sementara ). Dalam periode ini pula DPA dihapuskan.

Sejak berlakunya UUD Sementara berbagai langkah dilakukan untuk menjalankan roda pemerintahan. pada tahun 1955 diselenggarakan pemilihan umum pertama untuk membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat dan Konstituante. Konstituante dibentuk untuk menetapkan Undang – Undang Dasar yang tetap menggantikan UUD Sementara 1950. Hal ini menyimpangi ketentuan yang diatur dalam Piagam Persetujuan R.I.S. – R.I, alasan Pemerintah saat itu adalah ; karena DPR dengan jumlah kurang lebih 250 anggota yang besarnya ditetapkan berdasarkan atas perhitungan setiap 300.000 jiwa penduduk mempunyai satu wakil (pasal 56) dipandang pantas untuk suatu bangsa yang terdiri atas kurang lebih 75 juta jiwa, selain itu Karena pada umumnya suatu Konstituante beranggota lebih banyak dibanding DPR ( penjelasan UUD Sementara 1950). Walaupun sudah banyak materi muatan konstitusi yang disepakati dalam sidang – sidang konstituante, akan tetapi pada waktu akan diputuskan dasar Negara yang akan berlaku, terjadi perbedaan yang tajam. Ada tiga dasar yang dianjurkan yakni; dasar Negara social-ekonomi, dasar Negara Islam dan dasar Negara Pancasila. Setelah diadakan pemungutan suara, ternyata tidak ada yang memperoleh sekurang – kurangnya 2/3 dari peserta sidang yang hadir. Untuk mengatasi situasi itu Pemerintah mengusulkan agar kita kembali ke UUD 1945, anggota Konstituante setuju dengan catatan ada sebagian fraksi yang menghendaki ditambahkannya 7 perkataan yang terdapat dalam Piagam Jakarta. Karena tidak terdapat kesepakatan tentang hal itu, keputusan dilakukan melalui pemungutan suara yang juga tidak berhasil mengambil keputusan. Akhirnya pada tanggal 5 juli 1959 Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden No. 150 tentang Dekrit, yang lebih dikenal dengan Dekrit Presiden, yang berisi :
1.pembubaran Konstituante
2.tidak berlakunya UUD Sementara 1950
3.berlakunya kembali UUD 1945.

D. UUD 1945 ( periode 1959 – 1971 )

Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 150 tentang Dekrit, atau yang lebih dikenal dengan Dekrit Presiden 1950, maka UUD 1945 berlaku kembali. Badan Konstituante yang telah dibentuk melalui Undang – Undang pemilihan umum No. 7/1953 dibubarkan. Dalam periode ini pasal IV aturan peralihan UUD 1945 tidak berlaku lagi, sebab telah terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong – royong, serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara, masing – masing melalui Penetapan Presiden No. 2/1959 jo Peraturan Presiden No. 12/1959 serta Keputusan Presiden No. 199/1960, Penetapan Presiden No. 4/1960 jo Keputusan Presiden 156/1960 serta Penetapan Presiden No. 3/1959 jo Keputusan Presiden No. 168/1959.

Walaupun lembaga – lembaga Negara tersebut diatas masih bersifat sementara, namun pada periode ini UUD 1945 telah dilaksanakan secara berbeda dengan Undang – Undang Dasar 1945 (periode 18 agustus 1945 – 27 desember 1949), sebab lembaga – lembaga Negara ini tidak hanya ada secara yuridis formal, tetapi pada periode ini semua lembaga yang diatur dalam UUD telah terbentuk.
Akan tetapi kemudian terjadi penyimpangan – penyimpangan terhadap terhadap UUD 1945, antara lain Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tentang pengangkatan Presiden seumur hidup. Disamping itu, seiring diberlakukannya kembali UUD 1945 maka Dewan Pertimbangan Agung pun kembali dibentuk, menurut UUD 1945.

E. UUD 1945 ( periode 1971 – 1999 )

Setelah terjadinya usaha perebutan kekusaan G-30 S/PKI Pemerintah bertekad melaksanakan Undang – Undang Dasar 1945 secara murni dan konskwen. Namun yang terjadi adalah ” executive heavy ” , struktur UUD 1945 memberikan pengaturan yang dominan terhadap lembaga kepresidenan, baik jumlah pasal maupun kekusaannya. Bahkan pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan Presiden memegang kekuasaan membentuk undang – undang. Ketentuan ini menimbulkan pendapat seolah – olah hanya Presiden yang memegang kekuasaan membentuk Undang – Undang, DPR hanya memberikan persetujuan saja. Pada periode ini Presiden dipilih oleh badan perwakilan rakyat ( yaitu MPR ) dan Presiden tunduk dan bertanggungjawab kepada badan perwakilan rakyat ( MPR ), dan dapat diberhentikan oleh MPR. Akan tetapi tidak tunduk dan bertanggungjawab kepada DPR. Pada periode ini pula Presiden dapat dipilih berulang – ulang kali, hal ini yang menjadi pembenaran dipilihnya Presiden Soeharto sampai enam kali berturut – turut. Mengenai hal ini, telah dilakukan pembatasan melalui TAP MPR No. XIII/MPR/1998 ( pada periode ini MPR masih merupakan lembaga Tertinggi Negara ) yang menyebutkan Presiden dan Wakil Presiden RI memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang hanya untuk satu kali masa jabatan.

Sebagaiamana telah disebutkan diatas bahwa MPR merupakan lembaga tertinggi Negara. Anggota – anggotanya terdiri atas anggota – anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan – utusan dari daerah – daerah dan golongan – golongan , menurut aturan yang ditetapkan dengan undang – undang { pasal 2 ayat (1) UUD 1945 }. MPR menjalankan kekuasaan Negara yang tertinggi sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia ( vertetungsorgan des willens Staatvolker ), karenanya MPR merupakan lembaga tertinggi Negara (penjelasan pasal 3 UUD 1945)

F. UUD 1945 ( periode 1999 – sekarang/ setelah perubahan )

Amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan sebanyak empat kali menggulirkan berbagai perubahan pula dalam struktur ketatanegaraan. disamping adanya beberapa lembaga Negara yang dihapuskan, dibentuk beberapa lembaga Negara baru, untuk memenuhi kebutuhan hidup berbangsa dan bernegara. Dengan diubahnya beberapa pasal tertentu dalam UUD berimplikasi pada beberapa perubahan yang sangat signifikan, antara lain; Perubahan ketentuan pasal 1 ayat (2) yang dimaksudkan untuk mengoptimalkan dan meneguhkan paham kedaulatan rakyat yang dianut Negara Indonesia karena kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga Negara, yaitu MPR, tetapi melalui cara dan oleh berbagai lembaga yang ditentukan oleh UUD 1945. Dengan demikian kedaulatan tetap ditangan rakyat, sedangkan lembaga – lembaga Negara melaksanakan bagian – bagian dari kedaulatan itu menurut wewenang, tugas dan fungsi yang diberikan oleh UUD 1945. Dengan perubahan ini pula tidak dikenal lagi istilah lembaga tertinggi Negara ataupun lembaga tinggi Negara. kedudukan setiap lembaga Negara bergantung pada wewenang, tugas dan fungsinya masing – masing menurut UUD 1945. Selain itu perubahan terhadap pasal 2 ayat (1) mengenai susunan keanggotaan MPR dimaksudkan untuk mengoptimalkan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang seluruh anggota MPR dipilih oleh rakyat melalui pemilu, disamping itu, perubahan ini untuk meningkatkan legitimasi MPR. Ketentuan ini sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan yaitu ” perwakilan atas dasar pemilihan” ( representation by election ). Perubahan pasal 3 mengenai wewenang MPR berimplikasi pada terjadinya perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan kita, yaitu dari sistem yang vertikal hierarkis dengan prinsip supremasi MPR menjadi sistem yang horizontal fungsional dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi ( check and balances )antar lembaga Negara. Dengan perubahan UUD 1945, MPR tidak lagi menetapkan Garis -Garis Besar Haluan Negara, baik yang berbentuk GBHN maupun peraturan perundang – undangan, serta tidak lagi memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden sebagai konsekwensi Pemilihan langsung melalui Pemilu.

Kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif yang memegang kekuasaan membentuk Undang -Undang dikuatkan melalui perubahan pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1), dengan memindahkan titik berat kekuasaan legislasi nasional yang semula berada ditangan Presiden, beralih ke tangan DPR. Di pasal yang lain ( pasal 20 ayat 2 hasil perubahan pertama) menyebutkan DPR dan Presiden mempunyai wewenang yang sama untuk membahas setiap rancangan Undang – Undang untuk kemudian disetujui bersama. Di sisi lain Presiden mempunyai hak untuk menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang – undang ( pasal 5 ayat 2) serta peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang – Undang ( pasal 22 ayat 1). Dan sebagai penegasan sistem Presidensiil yang kita anut DPR mempunyai hak melakukan pengawasan terhadap Presiden/pemerintah ( pasal 20A ayat 1). Pasal 7C yang menyebutkan Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR mencerminkan kedudukan yang setara antara kedua lembaga yang sama – sama memperoleh legitimasi langsung dari rakyat.

Yang tak kalah signifikan adalah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu(-semula dilakukan oleh MPR) yang didasari pemikiran untuk mengejawantahkan paham kedaulatan rakyat. Selain itu, Presiden dan wakil Presiden terpilih memiliki legitimasi yang kuat, yang sekaligus memperkuat sistem Presidensiil yang dianut dengan adanya periodesasi masa jabatan Presiden yang pasti (fixed term). Dengan dipilihnya Presiden secara langsung oleh rakyat ( melalui perubahan III 9 november 2001 pasal 6A, sebelumnya dipilih oleh MPR sebagai badan perwakilan ), demikian pula berkenaan dengan pemberhentian Presiden, jika sebelumnya dalam penjelasan UUD 1945 ( sebelum Perubahan ) ” Presiden yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis “, dalam praktek ketatanegaraan berlaku, pengertian bertunduk dan bertanggungjawab tersebut tidak sekedar diartikan pengawasan, tetapi termasuk juga pemberhentian Presiden dari jabatannya seperti yang terjadi pada Presiden Abdurrahman Wahid melalui TAP MPR No. I/MPR/2001. Namun berdasarkan pasal 7A UUD 1945 Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan karena suatu pelanggaran hukum yaitu pengkhianatan terhadap bangsa dan Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Pada periode ini pula Dewan Pertimbangan Agung dihapuskan yang didasarkan atas pertimbangan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas Penyelenggaraan Negara. Sebagai gantinya, Dirumuskan ketentuan pasal 16 yang memberikan kekuasaan pada Presiden untuk membentuk Dewan Pertimbangan yang bertugas memberi nasihat dan pertimbangan kepada Presiden dan berkedudukan di bawah Presiden.
Melalui perubahan ketiga UUD 1945 ( 9 november 2001 ) lahirlah sebuah lembaga baru dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Lembaga ini dimaksudkan untuk memperkuat dan mendukung DPR dalam sistem perwakilan Indonesia. DPR sebagai lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi dan paham politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan, sedangkan DPD sebagai lembaga perwakilan penyalur keanekaragaman aspirasi daerah, dengan kata lain keberadaan DPD merupakan upaya menampung prinsip perwakilan daerah. Meskipun saat ini DPD mempunyai fungsi yang terbatas dibidang legislasi, anggaran, pengawasan, dan pertimbangan, namun fungsi DPD berkaitan erat dengan sistem check and balances dalam lembaga perwakilan. Lembaga ini dibahas dalam bab VIIA pasal 22C dan pasal 22D UUD 1945 (hasil perubahan).

Melalui amandemen UUD 1945 ketentuan mengenai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diatur dalam bab tersendiri ( bab VIIIA),di mana sebelumnya merupakan bagian dari bab VIII tentang hal keuangan. BPK merupakan lembaga Negara yang berfungsi memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan Negara. Dalam rangka memperkuat kedudukan, kewenangan, dan independensinya sebagai lembaga Negara, anggotanya dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Dan dalam kedudukannya sebagai eksternal auditor pemerintah yang memeriksa keuangan Negara dan APBD, serta untuk dapat menjangkau pemeriksaan di daerah, BPK membuka kantor perwakilan di setiap Provinsi.

Amandemen UUD 1945 juga melahirkan sebuah lembaga baru di bidang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) dengan wewenang tertentu (pasal 24C ) yakni; menguji undang – undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, serta memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pembentukan MK adalah sejalan dengan dianutnya paham Negara hukum dalam UUD 1945, yang harus menjaga paham konstitusional, yang artinya tidak boleh ada undang – undang dan peraturan per-UU-an lainnya yang bertentangan dengan UUD. Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif yang memang telah ada sebelumnya, pada periode ini pengusulan calon hakim agung dilakukan oleh komisi yudisial dengan persetujuan DPR sebagai representasi kedaulatan rakyat dalam menentukan siap yang tepat menjadi hakim agung sesuai dengan aspirasi dan kepentingan rakyat untuk memperoleh kepastian dan keadilan. Selain MK lembaga baru dibidang yudikatif yang dibentuk adalah Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan hakim agung, dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (24B UUD 1945 ).

Sumber :
http://fristianhumalanggionline.wordpress.com/2008/05/26/sejarah-lembaga-lembaga-negara-indonesia/